Kata-kata bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga instrumen estetika. Ia bisa membangun ketegangan, menghadirkan kehangatan, menumbuhkan kepercayaan, atau bahkan menggugah kesadaran.
Sayangnya, tidak sedikit orang yang menganggap public speaking cukup dengan suara lantang dan intonasi naik-turun. Padahal, tanpa muatan diksi yang memadai, suara yang lantang pun tidak akan banyak membantu.
Kata-kata memiliki energi. Energi itu hanya bisa muncul jika sang pembicara mampu memilih diksi yang sesuai konteks, audiens, dan tujuan komunikasi.
Lalu, bagaimana membangun kekayaan diksi? Jawaban paling sederhana dan efektif adalah: membaca. Membaca adalah latihan yang tak hanya memperluas wawasan, tetapi juga menambah simpanan kata dan memperkaya cara mengungkapkan sesuatu.
Lewat membaca, seseorang bisa belajar bagaimana sebuah ide kompleks dirangkum dalam satu kalimat ringkas, atau bagaimana emosi disampaikan tanpa berlebihan.
Setiap genre bacaan memberikan kontribusi unik—novel melatih sensitivitas bahasa, puisi mengajarkan keindahan metafora, opini memperkenalkan argumentasi yang tajam, dan berita melatih keterbiasaan pada struktur kalimat yang lugas.