Tentu saja, jalan pengabdian tak selalu mulus. Ia pernah menghadapi persoalan ketika bantuan tidak tepat sasaran. Namun Ibu Sri tak lantas putus asa. Dengan sabar, ia memberi pemahaman kepada warga dan melaporkan situasi agar tak terulang kembali.
Tantangan lain datang dari kesadaran masyarakat yang belum merata. Beberapa pasien TBC, misalnya, enggan memanfaatkan layanan kesehatan gratis. Tapi lagi-lagi, Ibu Sri memilih jalan sabar dan pelan-pelan menanamkan kesadaran demi perubahan yang berkelanjutan.
Di balik kegigihannya, ada dukungan kuat dari keluarga. Baginya, keluarga adalah akar dari segala semangat. Dari rumah pula segalanya bermula. Ia percaya, menjadi pribadi baik dalam lingkup kecil rumah tangga adalah awal dari perubahan yang lebih besar di masyarakat.
Kepada para ibu rumah tangga, Ibu Sri menyampaikan pesan yang menggetarkan:
“Berkegiatan sosial itu diniati dengan tulus ikhlas tanpa pamrih, meskipun banyak orang yang membenci kita dan terkadang tidak mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat. Yang paling utama adalah siap dengan ikhlas mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, materi, dan kepentingan pribadi untuk didedikasikan dalam kegiatan sosial masyarakat.”
Harapannya ke depan sederhana, tapi menyentuh: kehidupan yang lebih sejahtera dan harmonis bagi warga sekitar. Ia meyakini, dalam setiap kegiatan sosial, dirinya tak hanya mendapat pengalaman dan teman baru, tapi juga saudara. Bahkan jika ada rezeki yang datang dari pengabdiannya, ia bersyukur dan menerimanya sebagai berkah.