Lorong Lembap, Saksi Cucuran Keringat
Kami[1] menelusuri lorong pasar Piyungan yang padat dan lembab. Di antara motor-motor yang diparkir seperti ikan asin dijemur, di tengah percakapan pedagang dengan nada tinggi, kami mencari satu wajah yang telah lama jadi bagian dari denyut pasar ini. Perempuan yang tak pernah terlambat hadir setiap pagi, bernama Bu Irah.
Akhirnya kami menemukannya di bagian belakang pasar—tengah menyiapkan pesanan. Ia mendorong troli kayu berisi seember tahu dan beberapa kemasan besar kerupuk. Tangannya yang mulai keriput dengan sabar menyeimbangkan muatan. Tak boleh terlalu cepat, agar tak tumpah; tak boleh terlalu lambat, agar waktu tak terbuang sia-sia.
Barang-barang itu akan diantarkan ke tempat yang entah di mana: ujung kanan, tengah pasar, belakang, atau mungkin salah alamat.
“Kadang saya antar keliru, hehehe… ya Alhamdulillah kalau yang enggak merasa beli dikembalikan, kalau enggak ya hilang. Risikonya,” katanya sambil terkekeh. Tawa kecil yang menyimpan kenyataan pahit: bahwa hidup tak selalu adil, tapi bisa tetap dijalani dengan ringan.
Dua Puluh Tahun dalam Duka yang Disyukuri
Sudah dua dekade Bu Irah menapaki lantai pasar yang dingin itu. Setiap hari, dari sebelum subuh hingga matahari tegak di atas kepala. Kami bertanya dengan nada pelan, “Bu, kalau boleh tahu, rata-rata penghasilan sehari berapa?”
“Alhamdulillah, nggak pasti. Lima puluh ribu ke bawah,” jawabnya sambil tersenyum. Sebuah senyum yang tak menyembunyikan kelelahan, tapi juga tak menunjukkan kecewa. Ia menambahkan pelan, “Tapi bisa lebih. Ya saya bersyukur sudah dapat segitu.”
Tak pernah ada keluhan. Setiap langkah, setiap dorongan troli, dilakukan dengan ikhlas. Upah yang tak selalu sepadan, tak menghalanginya untuk tetap percaya bahwa kerja keras akan menemukan jalan. Bahwa rezeki, sebesar atau sekecil apapun, tetap patut disyukuri.
Semata-mata Demi Keluarga