Feature: Perempuan Buruh Gendong, Menggantung Asa pada Punggung Renta di Pasar Piyungan

Bu Irah, pekerja subuh dari Jogja yang setia mengais rezeki di Pasar Piyungan. Keteguhannya adalah potret ketulusan ibu untuk keluarga.

kerja keras ibu di pasar tradisional-Bu Irah, buruh gendong di Pasar Piyungan Yogyakarta, tengah menata barang dagangan milik pelanggan yang membayar jasanya. Potret nyata perjuangan perempuan subuh demi nafkah keluarga di tengah hiruk-pikuk pasar tradisional.(Foto: Tia Aulia)
Bu Irah, buruh gendong Pasar Piyungan, mendorong troli berisi kerupuk dan sayuran pesanan pelanggan sejak subuh. Potret perjuangan perempuan tangguh di Yogyakarta demi nafkah keluarga (Foto:Endah Permatasari)

Dalam harap yang sederhana, ia titipkan doa. “Semoga di hari tua saya dan keluarga diberi kesehatan dan panjang umur ya. Rezeki barokah, selamat dunia akhirat. Anak saya juga jadi anak yang solehah,” tuturnya.

Tak ada cita-cita mewah. Ia tak ingin mobil atau rumah besar. Cukup jika anaknya bisa menjadi orang baik, cukup jika keluarganya sehat dan bisa makan hari ini. Doanya sederhana, tapi getarnya dalam. Setiap karung yang digendong, setiap kiloan tahu yang ditarik troli, adalah ikhtiar untuk masa depan anak-anaknya.

Ketika pasar mulai lengang, saat suara tawar-menawar mulai mereda, Bu Irah masih melangkah. Mengantar satu pesanan terakhir, menyelesaikan tugas hari ini. Ia duduk di pinggir lapak, menghapus peluh di pelipis, menarik napas dalam. Dalam diam itu, ada kelegaan, ada bangga, ada syukur.

 

Tidak Berseragam, Tapi Tak Pernah Absen

Bu Irah tak punya seragam. Tak ada kartu pegawai atau ID yang menggantung di leher. Tapi namanya selalu hadir di pagi-pagi pasar, dalam ingatan para pedagang yang menantikan tenaganya. Ia mungkin tak tercatat dalam daftar penggajian, tapi pasar ini tahu, bahwa tanpanya, banyak beban takkan pernah berpindah tempat.

Ketika kita pulang membawa belanjaan, jarang kita pikirkan siapa yang lebih dulu menanggung beratnya. Bu Irah—di sanalah ia, hadir tapi sering tak terlihat. Perempuan kecil yang langkahnya membungkus makna besar: bahwa hidup bukan tentang jadi orang besar, tapi tentang tetap berjalan, meski semua alasan untuk menyerah telah habis.

“Bukan tentang seragam atau jabatan. Tapi tentang tekad yang tak pernah padam. Tentang cinta yang diwujudkan lewat keringat. Dan tentang seorang ibu yang meletakkan harapan di setiap langkah kecilnya.”

 

***

Catatan Kaki
[1] Kami merujuk pada anggota Tim Lorong Asa Project, yang beranggotakan: ‘Afifuddin, Endah Permatasari, Fauziah Atya Yumna, dan Tia Aulia

Tentang Tim Lorong Asa Project
Lorong Asa Project adalah sebuah tim yang terbentuk dari salah satu kelas menulis di bawah bimbingan guru kami, Eko Triono. Tim ini beranggotakan empat orang, yakni ‘Afifuddin, Endah Permatasari, Fauziah Atya Yumna, dan Tia Aulia. Semoga, karya kami ini akan abadi dan bermanfaat bagi pembaca. Tabik.

Tentang Penulis: Penulis adalah mahasiswa aktif Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *