Fabianus Abu: Dari Ruang Kelas ke Ruang Kebijakan
Jejak Guru yang Menyulam Pelayanan dalam Pemerintahan
Oleh: Atrari Senudinari
Pintu ruang kerja itu terbuka perlahan, menyambut langkah siapa saja yang datang dengan harapan. Senyum Fabianus Abu menyapa lebih dahulu, hadir sebelum kata-kata.
Di balik meja kerjanya, ia berdiri dalam balutan jas tenun bermotif ceria hangat, bersahaja, mencerminkan keanggunan tanpa rekayasa.
Dari kain adat yang melekat di tubuhnya, terpancar keteduhan seorang pemimpin yang tak ingin ditinggikan, cukup dihormati.
“Silakan masuk, Enu,” sapanya ramah, sembari menunjuk kursi tamu berlapis kulit coklat yang telah menjadi saksi bisu ratusan cerita.
Di kursi itulah, kata Pak Fabi, sapaan akrabnya, warga dari berbagai pelosok datang menyampaikan aspirasi, keluhan, dan impian.
“Tempat ini bukan milik saya,” ujarnya lembut, “ini milik siapa saja yang merasa perlu didengar.”
Berbincang dengannya, tak terasa sekat antara pejabat dan rakyat. Meski kini menjabat sebagai Wakil Bupati, aura seorang guru masih melekat erat pada dirinya: ramah, sabar, dan penuh empati.
Ia memilih kata seperti seorang pendidik memilih kapur dengan hati-hati, karena ia tahu, kata bisa menyembuhkan namun juga bisa melukai.