TERASNUSA.com-TUHAN, Dia Bukan Jodohku-Lima tahun kami bergulat dalam kisah, cinta dan cerita. Satu tahun kami tak membagi kasih dan kabar. Tiga tahun telah lama berpisah. Pilihanku bukan jalannya. Pun jalanku bukan pilihannya.
Ada janji yang sering kami rajuti dari masa awal kami bercinta, hingga detik-detik akhri sebuah perpisahan.Semuanya pupus. Tinggal kisah dan cerita yang masih dikenang.
Kisah cinta tiga tahun tak berarti. Pilihan masing-masing yang melenyapkan semuanya. Jalan hidup yang berbeda memisahkan perjuangan cinta kami. Bagiku itulah makna sebuah cinta.
Tanpa berakhir cinta tidak ada kisah dan cerita. Satu April, pada bulan itu merupakan momen yang sangat berharga dalam kisah cinta kami.
Hari itu, adalah hari awal kami mengukir kisah dan cerita dalam satu ikatan cinta. Menarik. Di antara bangunan berbaris tua itu kami berdiri jarak hingga merapat. Ada aliran rasa mengalir seluruh adrenalinku.
Letupan hati dari sabda itu menjadi berharga baginya. Mungkin aku berharga dan istimewa di ujung hatinya. Itu lamunanku. Bagiku dia begitu sempurna. Wajah anggun, manis, berambut air, dan tubuhnya molek. Seksi.
Kulit tubuhnya sangat cerah, hitam manis, bibirnya yang manis dengan senyuman. Dia mungkin wanita yang sempurna dalam hidupku. Meski hanya sebentar. Kesetiannya sungguh dirasakan.
Penyayang penuh sayang. Dalam pergaulan, ia orangnya ramah mudah berkata-kata. Tindak-tanduknya sulit dipahami. Kelihaiannya memutar kata sangat mahir. Aku mungkin tak seperti yang diharapkannya. Namun, ambisi tetap melekat pekat dalam diriku. Meski pesimis terus menggerogoti.
βApakah aku sempurna di mata hatinya, seperti dia di mata hatiku?β, sahutku dalam hati.
Itu merupakan realitas tersembunyi dari dirinya yang tak sempat kujamah dan kudalami. Ya sudahlah, biarkan saja rasa yang menceritakan semuanya.
Gadis berdarah Lio, yang cantik, manis dan berlihai itu, kembali hadir dalam ingatanku. Kisah cinta di SMA lima tahun yang silam kembali terurai, meski tak sempurna. Bangunan tua berbaris, tanaman yang penuh kesegaran tempat kami berbagi cerita, kembali teringat.
Malam itu sungguh kelam. Pekat. Hanphone yang biasa menemaniku terselib diam di bawah bantal. Kebiasaan malam-malam sebelum, seperti mendengar lagu untuk menghantar tidur tak kubuat malam itu. Suasananya lain dari malam-malam sebelum.
Mataku tak bisa terpejam nyeyak. Pikiranku merana, menggelana, entah ke mana. Kisah lima tahun yang silam adalah tempatku berlabu malam itu. Tubuh dan batinku tak tenang. Sungguh. Tak mengetahui apa sebabnya.
Atau mungkin karena minum dua gelas kopi ala Manggarai di ujung puncak tadi, bersama temanku. Tidak mungkin. Bantahku terhadap pikiran itu. Ini mungkin sesuatu yang tersembunyi, entah dari siapa. Tapi apa.
Selalu kumelawan jalan pikiran itu. Karena, kondisi batin dan pikiran yang tak karuan. Aku melupakan teman setia penghantar tidurku. Itu adalah hpku. Hanya bantal peluk dengan setia menyerahkan dirinya untukku.
Ia selalu menemaniku kala aku terbuai dalam setiap lamunan dan tidurku. Meski batinku tak tenang, ia tetap setia. Kegelisahan.
Anak muda biasa sebut galau. Mungkin itulah realitas sebenarnya yang kualami malam itu. Mata dengan berat menutup rapat. Sayup-sayup kantuk masih jauh. Pikiran berkelana mengawang.
Kisah, cerita, dan cinta lima tahun silam kembali melayang-layang dalam ingatan. Aku kembali bereksis di kisah itu. Wajah anggun perempuan cantik berdarah Lio itu terus menempel diam dalam pikiran.