Sebelum duduk di kursi eksekutif, Pak Fabi telah lebih dulu menempuh jalur legislatif. Ia pernah menjadi anggota DPRD, sebuah masa yang mengasah kepekaan politik dan memperluas pemahamannya akan birokrasi dan kebutuhan rakyat.
“Duduk di legislatif mengajarkan saya bahwa keputusan bukan sekadar angka dan rapat. Di baliknya ada manusia, ada dampak nyata,” tuturnya tenang.
Lalu datanglah panggilan dari medan pilkada. Sebuah keputusan besar, yang ia akui lahir dari keraguan. Namun dorongan masyarakat dan restu keluarga menjelma menjadi keyakinan.
Ia pun mencalonkan diri sebagai Wakil Bupati, dan dengan dukungan luas, kepercayaan rakyat pun diraihnya.
Namun jauh sebelum politik memanggil, Pak Fabi adalah seorang guru. Tahun demi tahun ia habiskan untuk mengajar, menyeberangi kampung demi kampung, menyemai pengetahuan dengan semangat tanpa pamrih.
“Mengajar adalah panggilan. Sama halnya dengan melayani di pemerintahan,” katanya.
Baginya, ruang kelas adalah batu loncatan menuju ruang kebijakan. Di sana ia belajar tentang kesabaran, konflik yang diselesaikan dengan hati, dan empati yang tak hanya diajarkan tapi juga dijalani.
“Setiap anak berbeda. Dan di masyarakat, setiap suara juga berbeda. Tapi semua layak mendapat perhatian,” ucapnya.
Pak Fabi tidak lahir dari keluarga elite. Ia tumbuh dalam kesederhanaan, dengan ayah seorang nemer, pemasok kayu yang dikenal bukan karena kekayaan, tapi karena keramahan dan jaringan sosial yang luas.