“Ayah saya adalah orang biasa, tapi dia tahu cara hadir di tengah orang,” kenangnya. Dari sang ayah, ia belajar tentang pentingnya membangun relasi, bukan dominasi.
Ia tak mengejar kekuasaan dengan ambisi membara. Politik bukanlah arena pertarungan, tapi jalan pengabdian. Baginya, kepercayaan publik bukan hasil pencitraan, tapi buah dari konsistensi dan kerja nyata.
“Saya ini bukan siapa-siapa. Kalau hari ini orang percaya, itu karena proses panjang yang dimulai dari rumah, sekolah, hingga ruang-ruang kecil tempat saya belajar mendengarkan orang lain,” katanya merendah.
Dan dalam seluruh perjalanannya, satu hal tak pernah berubah: keluarga adalah pusat semestanya. Istrinya, Apolinia Ijuk, adalah sosok yang tak sering terlihat di publik, namun selalu hadir sebagai penyangga setia.
Bersama empat anak mereka, keluarga menjadi rumah yang selalu memeluknya tanpa syarat.
“Kalau saya salah bicara di rumah, anak saya bisa koreksi langsung,” katanya sambil tertawa. “Itu menyehatkan.”
Di tengah tumpukan berkas dan waktu yang padat, Pak Fabi tetap menyediakan ruang untuk mendengar. Ia tahu, tak semua orang butuh solusi cepat, kadang, cukup dengan merasa dihargai.
Dan untuk itu, kursi coklat di ruang kerjanya tetap tersedia, siap menampung suara-suara yang tak terdengar di tempat lain***