Penulis || Ludviana Fatmasari*
TERASNUSA.com-Di sela riuh pasar yang mulai menggeliat sejak fajar, aroma mawar menyeruak perlahan, menyentuh gerbang napas para pencari kehidupan.
Di ujung pesisir kiri Pasar Kranggan, sebuah keranjang bambu dan tampah anyaman menyambut mata dengan pancaran merah-putih yang menyegarkan. Tidak ada kesan layu di sana, bahkan saat mata menatapnya berulang kali, seolah keindahan memilih untuk hidup di atas kematian.
Di tengah jejeran pedagang yang mengais harapan, tampak sosok teduh seorang wanita paruh baya. Tangannya cekatan memilah kelopak mawar merah dari jaring senada, wajahnya memancarkan ketenangan yang menular.
Dialah Bu Rodiyah, 61 tahun, yang menggantungkan harapan hidupnya pada bunga-bunga yang ia jual. Dari rangkaian itulah, roda ekonomi keluarganya terus berputar.
Pagi ini, sebelum jam menunjukkan angka tujuh, ia sudah tenggelam dalam kesibukan. Pesanan dari pelanggan setia membuat tangannya tak berhenti menata. Dua puluh tahun lebih Bu Rodiyah setia di lapaknya yang hanya berjarak dua meter dari parkiran depan pasar.
Ia meneruskan pekerjaan mertuanya yang telah tiada. “Bunga setaman banyak terjual di bulan Ramadan, khususnya hari-hari mendekati Idul Fitri,” tuturnya sambil merapikan kelopak.