
Ziarah kubur bagi masyarakat Jawa nyaris tak lengkap tanpa sekar setaman. Racikan Bu Rodiyah dalam satu keranjang biasanya terdiri atas mawar merah, putih, telasih, kantil, melati, dan kenanga. Bahkan, mawar yang mulai layu tak langsung dibuang, ia olah sarinya menjadi air mawar.
Pasca Lebaran, aktivitas di lapaknya terus berlanjut dari pagi hingga sore, kadang sampai malam. Sekar setaman kini tak hanya untuk ziarah, tapi juga untuk mantenan hingga upacara adat. “Bunga seperti ini bisa digunakan juga untuk upacara atau pernikahan,” ujar Bu Rodiyah.
Dalam kepercayaan Jawa, sekar setaman juga dipercaya bisa melindungi kendaraan baru dari kemalangan. Cerita-cerita mistis pun mengalir dari bibir Bu Rodiyah.
Salah satunya tentang “macan kerah” atau “Bang Lesson”, paket bunga lengkap yang digunakan untuk mengusir lelah atau sakit setelah menghadiri pemakaman.
Bu Rodiyah berharap kelak anak-anaknya bisa meneruskan pekerjaan ini. Baginya, kenyamanan adalah kunci. “Yang penting nyaman, Mbak. Kendala itu pasti ada, tapi itu juga pecutan bagi pedagang,” ucapnya, diselingi tawa yang hangat.
Hari-hari pasaran seperti Kamis Wage dan Jumat Kliwon selalu membawa keberkahan. “Selapan dino pisan,” begitu orang Jawa menyebutnya, waktu di mana peziarah datang berbondong-bondong. Seperti pagi itu, 15 April 2025, sekitar pukul enam, seorang pelanggan datang memesan banyak sekar setaman untuk keperluan “sripah”. Bu Rodiyah pun menunduk pelan, mengucap “Alhamdulillah”.
Kesegaran bunga di lapaknya bukan tanpa rahasia. Storan sekar setaman datang dari berbagai kota. Mawar dari Magelang dan Boyolali, melati ekspor dari Pekalongan, kenanga dari Borobudur. Untuk menjaga kualitas, melati disimpan dalam kotak gabus berisi es batu. “Melati dan kantil bisa tahan seminggu, kalau mawar dan kenanga dua hari,” jelasnya.
Sebelum ke pasar, Bu Rodiyah terlebih dulu menjalankan peran sebagai ibu. Menyiapkan makanan adalah rutinitas yang ia lakukan tanpa pamrih. Sebagai single parent, ia menjadi tulang punggung keluarga. Hasil dari bunga tak hanya menopang rumah tangga, tetapi juga mengalir untuk kebutuhan sosial di lingkungannya.
Perjalanan menuju pasar ia tempuh bukan dengan jalan kaki, tapi menumpang ojek. Kadang anaknya yang mengantar, kadang ia harus menyisihkan uang dari hasil dagang untuk ongkos. Di lapaknya, tiga keranjang bunga telah siap. Tangannya mulai bekerja—memilih sekar mawar merah dan putih, menambahkan melati, kenanga, dan kantil.