Feature: Perempuan Buruh Gendong, Menggantung Asa pada Punggung Renta di Pasar Piyungan

Bu Irah, pekerja subuh dari Jogja yang setia mengais rezeki di Pasar Piyungan. Keteguhannya adalah potret ketulusan ibu untuk keluarga.

kerja keras ibu di pasar tradisional-Bu Irah, buruh gendong di Pasar Piyungan Yogyakarta, tengah menata barang dagangan milik pelanggan yang membayar jasanya. Potret nyata perjuangan perempuan subuh demi nafkah keluarga di tengah hiruk-pikuk pasar tradisional.(Foto: Tia Aulia)
Bu Irah, buruh gendong Pasar Piyungan, mendorong troli berisi kerupuk dan sayuran pesanan pelanggan sejak subuh. Potret perjuangan perempuan tangguh di Yogyakarta demi nafkah keluarga (Foto:Endah Permatasari)

Penulis || Afifuddin*

“Seorang pahlawan adalah orang biasa yang menemukan kekuatan untuk bertahan dan menghadapi halangan besar.”
– Christopher Reeve-

TERASNUS.com-Belum juga azan subuh berkumandang, langit masih enggan bercahaya. Di bawah remang yang menggantung di cakrawala, seorang perempuan paruh baya telah melangkahmembawa punggungnya yang sedikit membungkuk dan tangan yang tetap teguh menggenggam tali-tali beban.

Dialah Sakirah, atau akrab disapa Bu Irah. Setiap dini hari, ia menyusuri sudut-sudut pasar, menjajakan tenaga kepada siapa saja yang sudi membayar jasanya sebagai buruh gendong.

Tak ada kepastian dalam langkahnya pagi itu. Ia tak tahu apakah ada yang akan memanggil namanya, apakah ada barang yang harus diantar, apakah rupiah akan mengalir ke tangannya. Namun ia tetap berjalan, sebab keyakinannya tak pernah padam: bahwa setiap tetes keringat adalah doa yang dikirim kepada langit, demi orang-orang yang ia cintai.

“Lima sampai sepuluh kali dalam sehari saya bisa mengangkut barang-barang. Semua pekerjaan itu halal, jadi saya syukuri saja,” ucapnya lirih, matanya berkaca-kaca.

Kalimat itu tak diucapkannya sebagai keluhan, melainkan sebagai bentuk syukur seorang ibu yang tak kenal lelah, meski tulang-tulangnya telah lama berhimpit usia dan kerasnya hidup.

 

Riuh Pasar, Roda Troli, dan Aroma Pagi

Pagi belum benar-benar membiru saat langkah-langkah kecil Bu Irah menapaki lantai pasar yang dingin dan lembap. Dari balik jilbab kuning yang sederhana, wajahnya menyimpan keteguhan. Saat pasar mulai terbangun dari tidur, ia tak hanya menjadi pengisi lorong-lorong sempit. Bu Irah adalah denyut yang membuat pasar tetap bernyawa.

Troli kayu berderit pelan di dorongnya, suaranya bersaing dengan tawa para pedagang, teriakan tukang parkir, dan gesekan plastik yang dibuka-pasang. Udara pagi membawa campur aduk aroma: tanah basah, ikan asin, tembakau, daging segar, dan sayur mayur yang baru turun dari ladang.

Bu Irah, buruh gendong Pasar Piyungan, mendorong troli berisi kerupuk dan sayuran pesanan pelanggan sejak subuh. Potret perjuangan perempuan tangguh di Yogyakarta demi nafkah keluarga (Foto:Endah Permatasari)

Punggungnya membungkuk, tapi langkahnya tetap pasti. Di antara jejeran kol dan karung cabai merah, tangan kurusnya menggenggam kuat tali troli yang tak pernah benar-benar kosong. Tak ada ruang untuk ragu. Setiap beban yang ia angkat, setiap jarak yang ia tempuh, adalah nyanyian diam seorang perempuan yang memilih bertahan di tengah ketidakpastian.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *