Apa yang terjadi hari ini adalah hilangnya landasan-landasan moral yang dulu menopang kepercayaan. Masyarakat tradisional membangun rasa percaya di atas nilai-nilai seperti kehormatan, nama baik, agama, dan kebersamaan komunitas. Seseorang dipercaya bukan karena bukti rasional, tetapi karena ia bagian dari jaringan makna dan tanggung jawab sosial yang saling terkait.
Dalam masyarakat modern, semua itu tergerus oleh individualisme dan fragmentasi sosial. Kita lebih mengenal avatar media sosial seseorang daripada wajahnya di dunia nyata. Kita lebih mempercayai algoritma daripada tetangga. Kita mempercayai ulasan daring lebih dari kata-kata sahabat. Sosiolog Jerman Niklas Luhmann menyebut kepercayaan sebagai “mekanisme pengurang kompleksitas”.
Dunia ini terlalu kompleks untuk kita pahami sepenuhnya. Untuk bisa berfungsi, kita membutuhkan kepercayaan agar tidak lumpuh dalam keraguan. Tetapi begitu sistem sosial kehilangan kemampuannya untuk menurunkan kompleksitas secara efektif, maka manusia mulai membangun sistem kepercayaan baru yang berbasis pada kontrol, pengawasan, dan kontrak formal.
Bukannya mempercayai niat baik, kita menuntut perjanjian tertulis. Bukannya mempercayai integritas, kita membangun sistem hukum. Bukannya mempercayai pemimpin, kita membuat birokrasi berlapis-lapis. Semakin kita kehilangan rasa percaya, semakin kita menggantinya dengan sistem formal yang kaku. Namun sistem itu sendiri tidak bisa sepenuhnya menambal krisis kepercayaan.
Sebab kepercayaan bukan sekadar mekanisme rasional, melainkan kualitas relasional. Kepercayaan melibatkan risiko. Ketika kita mempercayai seseorang, kita membuka kemungkinan untuk dilukai. Inilah yang ditolak oleh nalar instrumental: bahwa dalam relasi manusiawi, risiko adalah bagian dari keaslian. Kita tidak bisa menciptakan relasi yang murni aman. Dan mungkin memang tidak seharusnya demikian.
Cinta, persahabatan, bahkan iman religius, semuanya hanya bermakna sejauh kita bersedia menanggung kemungkinan dikhianati. Mengapa kita cenderung tidak percaya siapa pun? Mungkin karena kita takut. Kita takut disakiti. Kita takut ditipu. Kita takut menyerahkan sebagian kendali kita pada orang lain. Maka kita membangun tembok. Kita hidup dengan “filter,” dengan kecurigaan, dengan analisis rasional yang terus-menerus.