Ketika Logika Menghancurkan Rasa Percaya

Cinta, persahabatan, bahkan iman religius, semuanya hanya bermakna sejauh kita bersedia menanggung kemungkinan dikhianati. Termasuk Kepercayaan yang retak bukan tanda akhir zaman, melainkan panggilan untuk merekonstruksi fondasi kemanusiaan kita (T.H. Hari Sucahyo)

Ketika Logika Menghancurkan Rasa Percaya (Gamabar: Ilustrasi)

Namun tembok itu juga mengasingkan. Ia membuat kita hidup dalam kesendirian yang mencurigai segala-galanya, termasuk kebaikan. Kepercayaan, dalam pengertian yang lebih dalam, adalah wujud dari keberanian eksistensial. Seperti yang dikatakan Paul Ricoeur, kepercayaan bukanlah hasil dari kalkulasi untung-rugi, melainkan suatu disposisi yang tumbuh dari pengalaman hidup dan pemahaman yang mendalam akan manusia. Kita percaya karena kita memilih untuk berharap, bukan karena kita yakin takkan dikecewakan.

Di zaman yang sinis seperti sekarang, mungkin dibutuhkan pemahaman baru: bahwa kepercayaan bukan sekadar alat untuk efisiensi sosial, melainkan salah satu ekspresi terdalam dari kemanusiaan. Kita perlu membedakan antara kepercayaan yang naif dan kepercayaan yang bijak. Yang naif mempercayai tanpa melihat; yang bijak mempercayai meski telah melihat keburukan, karena ia tahu bahwa hidup bukan sekadar akumulasi logika, tetapi juga ruang pengampunan, pemulihan, dan pertumbuhan.

Mungkin kita perlu belajar kembali mempercayai dengan perlahan, dengan hati-hati, tapi tetap dengan ketulusan. Bukan karena dunia ini pantas dipercaya, tetapi karena tanpa kepercayaan, kita sendiri yang akan kehilangan makna hidup bersama. Kepercayaan rasional bukanlah kontradiksi, melainkan ketegangan yang kreatif. Kita butuh alasan untuk percaya, tetapi pada saat yang sama kita juga butuh keberanian untuk melangkah melampaui apa yang bisa dibuktikan.

Dalam kepercayaan ada pengakuan: bahwa manusia bukan hanya makhluk rasional, tetapi juga makhluk relasional. Dan dalam hubungan itulah, kita belajar menjadi utuh. Jika hari ini kita merasa dunia semakin sukar dipercaya, mungkin karena kita terlalu lama bergantung pada rasionalitas tanpa merawat sisi-sisi emosional, moral, dan spiritual dari hidup bersama.

Kepercayaan yang retak bukan tanda akhir zaman, melainkan panggilan untuk merekonstruksi fondasi kemanusiaan kita. Dimulai dari keberanian untuk mempercayai meski pelan, meski pernah dikhianati, meski tak sempurna. Sebab kepercayaan bukan tentang siapa yang pantas dipercaya. Tapi tentang siapa kita ingin menjadi dalam dunia yang penuh ketidakpastian.
_________
* Pegiat di Cross-Diciplinary Discussion Group “Sapientie”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *