Indeks
Opini  

Opini: Diksi; Nafas dalam Public Speaking

Diksi adalah napas dari public speaking. Tanpa diksi yang hidup, sebuah pidato hanya menjadi bunyi. Tapi dengan diksi yang kuat, setiap kata bisa menjadi daya hidup, yang menggerakkan pikiran dan menyentuh perasaan (Atrari Senudinari)

Penulis: Atrari Senudinari (Foto: Dokumen Pribadi)

Oleh: Atrari Senudinari
Penulis adalah Praktisi komunikasi, Jurnalis

PUBLIC speaking telah lama dipandang sebagai seni berbicara di depan umum. Ia adalah keterampilan yang melibatkan keberanian, kepercayaan diri, kemampuan merangkai kata, dan tentu saja—kemampuan untuk memikat pendengar. Namun di balik semua itu, ada satu elemen yang kerap luput dari sorotan padahal justru menjadi pondasi utama: perbendaharaan diksi.

Diksi bukan sekadar pilihan kata. Ia adalah senjata utama dalam membangun narasi, membentuk citra, serta menanamkan kesan dalam benak audiens. Dalam praktiknya, diksi menentukan apakah sebuah pidato akan dikenang atau terlupakan.

Kalimat yang kuat, padat, dan tepat sasaran hanya bisa lahir dari perbendaharaan diksi yang luas. Tanpa itu, penyampaian pesan menjadi hambar, datar, bahkan berisiko disalahpahami.

Menguasai public speaking bukan hanya tentang berbicara dengan fasih, melainkan bagaimana menyusun kata-kata dengan nyawa. Dalam setiap pembukaan, penutupan, atau jeda antar topik, seorang pembicara menghadapi momen krusial untuk menjaga atensi publik. Dan pada momen-momen inilah diksi menjadi penentu—apakah audiens akan terhubung secara emosional atau malah kehilangan minat.

Dalam kegiatan apapun—baik itu presentasi, pidato, diskusi, atau sekadar menyampaikan informasi—narasi yang kuat selalu lahir dari pilihan kata yang tidak asal.

Seringkali, hal yang sama bisa diungkapkan dengan cara yang lebih elegan, lebih menyentuh, atau lebih meyakinkan, hanya karena perbendaharaan kata yang digunakan lebih kaya.

Exit mobile version