OPINI || Ketika Logika Menghancurkan Rasa Percaya
Oleh: T.H. Hari Sucahyo*
Di tengah derasnya informasi dan kebisingan zaman, kepercayaan telah menjadi barang langka. Kita hidup dalam masyarakat yang secara paradoks membutuhkan kepercayaan agar bisa berjalan, namun sekaligus mencurigai setiap wujudnya. Iklan yang melebihkan janji, politisi yang memelintir kebenaran, institusi yang menyembunyikan skandal, media yang memanipulasi narasi; semua ini membuat kita belajar untuk waspada.
Tapi waspada yang berlarut berubah menjadi curiga. Curiga berkembang menjadi sikap skeptis. Dan skeptis yang tak terkendali akhirnya menjelma menjadi nihilisme: tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Mengapa kita cenderung tidak percaya siapa pun? Dalam dunia yang kian rasional dan saintifik, kita cenderung memegang prinsip bahwa kepercayaan harus dibangun di atas bukti. Kita menuntut transparansi, logika, konsistensi, dan sistem verifikasi.
Rasionalitas menjadi syarat mutlak bagi kepercayaan. Namun ironi muncul di sini: sebagian besar hal dalam kehidupan justru tidak bisa diverifikasi secara logis setiap saat. Kita tidak bisa menuntut setiap orang menunjukkan kredensial moral sebelum memercayainya sebagai teman. Kita tidak bisa mengharuskan setiap keluarga bersumpah di bawah detektor kebohongan untuk mempercayai cinta mereka.
Kita juga tidak bisa mengonfirmasi semua informasi di dunia. Pada akhirnya, sebagian besar keputusan manusia bergantung pada semacam lompatan kepercayaan (leap of faith) yang justru ditolak oleh paradigma rasional murni. Filsuf Jerman abad ke-18, Immanuel Kant, pernah membedakan antara pengetahuan rasional dan kebutuhan moral. Bagi Kant, meskipun kita tidak dapat membuktikan keberadaan Tuhan secara ilmiah, kita tetap harus “bertindak seakan-akan” Tuhan itu ada, karena struktur moral kehidupan membutuhkan fondasi kepercayaan semacam itu.
Dengan kata lain, kepercayaan bukanlah hal yang sepenuhnya irasional, melainkan keharusan praktis. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tak punya cukup waktu dan energi untuk menguji segala hal secara empiris. Kita harus percaya bahwa jembatan yang kita lewati tidak akan runtuh, bahwa dokter yang kita temui sungguh-sungguh ingin menyembuhkan kita, bahwa guru tidak sedang menipu anak-anak kita. Tanpa itu, kita hidup dalam paranoia.